microsoft office 2021 full version free download
Oktober 18, 2021
Dalam daftar rencana pembelian
senjata yang diusulkan oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan) kepada
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas agar menjadi bagian dari
revisi Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah 2020-2024, tergambar
pendekatan geopolitik. Hal demikian terlihat dari usulan akuisisi pesawat
tempur Rafale buatan Dassault Aviation Prancis sebanyak 36 unit dan 24 buah
F-15EX produksi Boeing Amerika Serikat (AS). Opsi pengadaan senjata asal AS
tidak sebanyak alutsista dari Eropa, namun akuisisi tersebut tetap strategis
bagi Indonesia dalam menjaga keseimbangan hubungannya dengan dua kekuatan Trans
Atlantik.
AS menjadi salah satu sumber
pengadaan senjata Indonesia yang terkait dengan produk dirgantara, khususnya
pesawat angkut dan pesawat tempur. Pada Minimum Essential Force (MEF) tahap II
tahun 2014-2019, Indonesia membelanjakan sekitar US$500 juta melalui skema
direct commercial sales menggunakan Pinjaman Luar Negeri (PLN) dari sindikasi
salah satu bank BUMN dan lembaga keuangan asal Prancis. Sementara pada MEF
tahap III tahun 2020-2024, F-15EX merupakan target utama akuisisi senjata
Jakarta dari Washington DC, namun skema pendanaan belum jelas karena masih
menunggu lampu hijau dari Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan.
Kemenhan mengusulkan kebutuhan PLN senilai US$3,3 miliar untuk pembelian
pesawat tempur yang awalnya dikembangkan oleh McDonnel Douglas itu, namun di
sisi lain AS belum memberikan lisensi ekspor F-15EX ke Indonesia.
Indonesia mewajibkan penerapan
Imbal Dagang, Kandungan Lokal dan Offset (IDKLO) untuk setiap impor sistem
senjata utama. AS terhitung sebagai negara yang tidak mudah memberikan offset
kepada negara lain dalam urusan ekspor senjata, akan tetapi hal itu bukan suatu
kemustahilan. Sebagai ilustrasi, PT GMF AeroAsia mendapat offset pembelian lima
C-130J oleh Indonesia berupa penggantian delapan unit center wing box pesawat
C-130 TNI Angkatan Udara, di mana tujuh unit C-130 akan mendapatkan center wing
box bekas, sedangkan satu unit sisanya akan mendapatkan center wing box baru
yang dipasok oleh mitra Lockheed Martin. Pengadaan senjata melalui mekanisme
foreign military sales biasanya lebih sulit untuk mendapatkan offset, namun
bukan mission impossible sebagaimana dibuktikan saat pembelian 12 F-16A/B Block
15 OCU oleh Indonesia pada 1986.
Namun terdapat catatan penting
yang perlu diperhatikan oleh Indonesia terkait hal tersebut yaitu keamanan
teknologi. Sejak beberapa tahun silam, Washington DC telah mendorong Jakarta
agar membentuk suatu unit kerja yang bertanggungjawab terhadap Defense
Technology Security (DTS) di tingkat Kemenhan. Dorongan itu terkait dengan
keinginan Indonesia mendapatkan alih teknologi dari AS untuk program KFX/IFX.
Isu DTS memang telah diangkat oleh AS untuk menjadi salah satu perhatian dalam
kerja sama pertahanan dengan Indonesia.
Dalam setiap Letter of Offer
and Acceptance (LOA) yang ditandatangani Indonesia untuk akuisisi senjata dari
Paman Sam, terdapat klausul DTS yang harus disetujui oleh Indonesia sebagai
pembeli senjata. Misalnya dalam pengadaan delapan unit AH-64E Apache yang
mengandung banyak teknologi sensitif. Dengan semakin besarnya potensi pembelian
senjata dari Washington DC, AS mendorong Indonesia memiliki suatu unit kerja
permanen yang bertugas melindungi teknologi AS yang diberikan kepada Indonesia.
Perhatian AS dapat dipahami karena sejak era Perang Dingin spionase teknologi
adalah hal yang terus terjadi, selain fakta bahwa Indonesia juga membeli senjata
dari negara yang dikategorikan sebagai pesaing AS.
Isu DTS bukan saja pada
tingkat Kemenhan, tetapi juga pada tingkat industri pertahanan seperti PT
Dirgantara Indonesia (PTDI). Cakupan DTS cukup luas, termasuk keamanan
penyimpanan data dan jaringan. Penerapan DTS secara terbatas telah dilaksanakan
oleh PTDI dalam program KFX/IFX di mana terdapat pembatasan akses pada
fasilitas di Gedung Pusat Teknologi yang terkait dengan program itu, namun hal
demikian belum cukup dan optimal. Persoalan DTS pada tingkat industri
pertahanan harus ditangani oleh suatu unit kerja tersendiri dan tidak tepat
bila dijadikan bagian dari unit yang bertanggungjawab terhadap teknologi
informasi.
Budaya organisasi mempengaruhi
pula isu DTS, di mana mayoritas organisasi pemerintah, BUMN maupun swasta masih
memiliki kelemahan soal ini. Industri pertahanan Indonesia masih harus belajar
terkait DTS dan hal tersebut membutuhkan dorongan dari Kemenhan dan Kementerian
BUMN, selain asistensi dari pihak ketiga yang berkepentingan. Isu DTS hendaknya
dipandang bukan saja dari aspek politik dan teknologi semata, tetapi juga
dampak ekonominya bagi kinerja industri pertahanan nasional dalam jangka
menengah dan panjang.
Seberapa besar kesadaran akan
DTS pada Kemenhan dan BUMN industri pertahanan? Penulis masih meragukan
tingginya tingkat kesadaran terhadap DTS mengingat masih banyak parameter
terkait keamanan data dan jaringan belum terpenuhi. Hal demikian membutuhkan
perubahan besar apabila DTS diterapkan secara penuh, termasuk perubahan
perilaku manusia. Diperlukan pula investasi untuk meningkatkan keamanan data
dan jaringan, baik yang menggunakan dana APBN maupun dana BUMN industri
pertahanan.
Offset merupakan aspirasi
politik untuk meningkatkan penguasaan teknologi tinggi sekaligus mendapatkan
nilai ekonomis pada jangka menengah dan panjang dari pengadaan senjata.
Mengutip data Janes, terdapat peluang offset sebesar US$ 18,1 miliar di
Indonesia selama periode 2021-2030 dengan peluang terbesar berasal dari sektor
dirgantara. Untuk meraih peluang itu, selain ditentukan oleh kapasitas fiskal
untuk mendukung belanja pertahanan dan kapasitas menyerap teknologi, faktor
kemampuan untuk mengamankan teknologi yang dialihkan sebagai bagian dari offset
perlu dikalkulasi dengan cermat.
Bisa jadi AS akan
memperbolehkan Indonesia membelanjakan US$ 3,3 miliar untuk akuisisi 24 F-15EX,
namun menolak offset karena tidak yakin dengan kemampuan Jakarta terkait dengan
DTS. Isu DTS mempunyai relevansi pula dengan program KFX/IFX yang membutuhkan
dana US$ 1,5 miliar untuk pembayaran co-share hingga 2026. Apakah Indonesia
akan mengorbankan US$ 1,5 miliar tanpa imbalan akses teknologi karena enggan
memenuhi tuntutan DTS dari AS dan Korea Selatan? Dana untuk kedua program
kemungkinan besar dibiayai oleh PLN karena mustahil mengandalkan dana Rupiah
Murni.
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/